Artikel IPS tentang Perilaku masyarakat yang menyebabkan konflik
Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara
kelompok satu dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-sumber
kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial budaya) yang relatif terbatas.
Menurut Du Bois dan Miley (1992: 148-158), bahwa sumber utama yang menyebabkan terjadinya konflik di dalam masyarakat yaitu adanya ketidakadilan sosial, adanya diskriminasi terhadap hak-hak individu atau kelompok, serta tidak adanya penghargaan terhadap keberagaman. Ketiga faktor tersebut sangat berkaitan dengan sikap-sikap dan perilaku masyarakat yang menyebabkan konflik ditandai dengan akhiran ism, seperti racism, elitism, sexism, ageism, dan handicapism.
Menurut Du Bois dan Miley (1992: 148-158), bahwa sumber utama yang menyebabkan terjadinya konflik di dalam masyarakat yaitu adanya ketidakadilan sosial, adanya diskriminasi terhadap hak-hak individu atau kelompok, serta tidak adanya penghargaan terhadap keberagaman. Ketiga faktor tersebut sangat berkaitan dengan sikap-sikap dan perilaku masyarakat yang menyebabkan konflik ditandai dengan akhiran ism, seperti racism, elitism, sexism, ageism, dan handicapism.
a. Racism
Rasisme adalah sebuah ideologi yang membenarkan adanya dominasi dari
satu kelompok atau ras tertentu terhadap kelompok atau ras lainnya.
Termasuk adanya perasaan superioritas yang berlebihan dari kelompok sosial tertentu terhadap kelompok sosial
lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu
ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dart ras yang
dominan.
Diskriminasi ras mempunyai tiga tingkatan, yakni tingkat individual, tingkat organisasional, dan tingkat struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap, perilaku, dan prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat jika kebijakan, aturan, dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Adapun pada tingkat struktural, diskriminasi ras dapat dilacak jika lembaga sosial yang satu memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
Diskriminasi ras mempunyai tiga tingkatan, yakni tingkat individual, tingkat organisasional, dan tingkat struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap, perilaku, dan prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat jika kebijakan, aturan, dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Adapun pada tingkat struktural, diskriminasi ras dapat dilacak jika lembaga sosial yang satu memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
b. Elitism
Elitisme merupakan pemujaan yang berlebihan terhadap suatu strata atau
kelas sosial yang biasanya berdasarkan atas kekayaan, kekuasaan, dan
juga prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas
sosial tinggi dianggap berhak menentukan potensi orang lain dalam
menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada
dalam masyarakat.
c. Sexism
Sexisme merupakan keyakinan bahwa jenis kelamin tertentu memiliki
kelebihan atas jenis kelamin lainnya. Pandangan ini sering kali didukung
oleh interpretasi dan tradisi-tradisi keagamaan yang pada umumnya
memandang wanita sebagai jenis kelamin yang lebih rendah dibandingkan
laki-laki.
d. Ageism
Ageisme menunjuk pada sikap-sikap negatif terhadap proses ketuaan. Dalam
ageisme ini meyakini bahwa kategori usia tertentu memiliki inferioritas
dibandingkan dengan kelompok usia lainnya sehingga perlakuan yang tidak
adil dapat dibenarkan. Meskipun ageisme umumnya diterapkan kepada
manusia lanjut usia (manula), sikap ini dapat pula ditujukan kepada
anak-anak.
e. Handicapism
Prasangka atau sikap-sikap negatif terhadap orang yang memiliki
kecacatan adalah manifestasi dari handicapism atau cacatisme. Orang yang
memiliki kecacatan (tubuh maupun mental), secara otomatis sering
dianggap berbeda dan tidak mampu melakukan tugas-tugas kehidupan
sebagaimana orang normal. Orang dengan kecacatan atau penyandang
kecacatan (terjemahan dari Persons With Disabilities-istilah yang lebih
tepat daripada sebutan orang cacat), kerap dipandang sebagai orang yang
secara sosial tidak matang dan tidak mampu dalam segala hal.
Meskipun isme-isme tersebut, khususnya sexisme, ageisme, dan
handicapisme, bukanlah faktor dominan dalam konteks konflik di
Indonesia, sikap-sikap prasangka tersebut dapat menjurus kepada
tindakan-tindakan diskriminatif terhadap beberapa kelompok yang dianggap
memiliki karakteristik kurang: kurang mampu, kurang produktif, dan
kurang normal. Isme-isme ini kemudian memberikan rasionalisasi atau
justifikasi terhadap ketidakadilan sosial dan tindakan-tindakan
diskriminatif sosial terhadap masyarakat yang dianggap memiliki struktur
sosial kurang: kurang memiliki kesempatan, kurang memiliki
kemungkinan-kemungkinan, dan kurang memiliki sumber-sumber.
Kehidupan sosial itu, jika dicermati, komponen utamanya adalah interaksi
antar para anggota. Sehubungan dengan interaksi antar anggota maka
ditemukan berbagai tipe. Tipe-tipe interaksi sosial, secara umum
meliputi cooperative (kerja sama), competition (persaingan), dan
conflict (pertikaian). Dalam kehidupan sosial sehari-hari, selain
diwarnai oleh kerja sama, juga diwarnai oleh berbagai bentuk persaingan
dan konflik. Bahkan, dalam kehidupan sosial tidak pernah ditemukan semua
warganya yang kooperatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar